Jakarta (Lampost.co) — Persoalan disinformasi atau hoaks dalam tahun politik yang cenderung marak menjadi salah satu tema terpanas dalam diskusi pembuka Senior Editors Forum 2023 di The Grove Suite Hotel, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023.
Asep Setiawan, dari Dewan Pers mengajukan pertanyaan siapa yang semestinya paling bertanggung jawab dalam hal mengatasi disinformasi. Jika melihat data yang ada sesungguhnya disinformasi banyak tersebar bukan pada platform pers atau media massa melainkan platform media sosial.
“Jika kita melihat kondisi sebenarnya maka berita hoaks paling banyak tersebar di platform media sosial bukan media pers. Lantas siapa yang paling bertanggung jawab mengatasi atau meredam fenomena ini,” tanya Asep dalam forum tersebut.
Menanggapi pernyataan itu, asisten profesor Public Policy dari Monash Indonesia Quinton Temboy menyatakan yang paling bertanggung jawab dalam mengatasi disinformasi semestinya platform pengelola media sosial. Menurutnya di negara mana pun disinformasi paling banyak tersebar pada platform media sosial. “Oleh karena itu saya berpendapat jika ditanya siapa yang paling bertanggungjawab untuk mengatasi semua ini maka jawabannya adalah pengelola platform media sosial,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan ini, Public Policy Manager META Indonesia & Timor Leste, Karissa A Sjawaldy menyatakan pihaknya saat ini turut berperan aktif dalam menghadapi era disinformasi termasuk pada sisi platform media sosial. Namun, ia menyatakan pendekatan perusahaanya bukan melakukan sensor melainkan melakukan fact checker.
“Hasilnya akan dipublikasikan oleh tim kami kepada pengguna dengan menyatakan informasi yang tersebar itu valid atau hoaks. Jadi semangat yang kami bangun adalah semangat kolaborasi,” kata dia.
Berkaitan dengan isu ini, Direktur Eksekutif PERLUDEM Khoirunnisa Nur Agustyati menyatakan keberadaan disinformasi atau berita hoaks menjadi persoalan serius dalam demokrasi. “Bahkan kami dapat menyimpulkan fenomena ini merupakan fenomena musiman dimana disinformasi menjamur setiap tahun politik lima tahun sekali,” kata dia.
Sebelumnya, Presiden Coordinator UN untuk Indonesia Valerie Juliand menyatakan fenomena disinformasi terutama pada platform media sosial perlu menjadi perhatian serius. “Semua pihak harus berperan mengedukasi masyarakat bahwa informasi pada media sosial tidak termasuk produk jurnalisme. Orang bisa membuat status tiga baris itu bukan praktik jurnalisme,” kata dia.
Deni Zulniyadi