Bandar Lampung (Lampost.co): Ahli Hukum Pidana Universitas Lampung (Unila), Edy Rifai menilai tingginya kasus peredaran narkoba di Lampung disebabkan karena tingginya mobilitas di Lampung yang menjadi lalu lintas dari berbagai daerah atau sebagai gerbang Pulau Sumatera.
“Jadi kalau kita lihat Lampung ini dia berbeda dengan daerah lain, Lampung ini menjadi lalu lintas dari berbagai daerah seperti Medan, Aceh, Padang, dan dari mana-mana melintasnya di Lampung. Jadi itu yang membuat Lampung menjadi provinsi yang banyak kasus peredaran narkoba,” kata Edy kepada Lampost.co, Kamis, 30 Maret 2023.
Edy menuturkan, dengan banyaknya mobilitas penduduk yang melintas di wilayah Lampung, hal itu sangat menyulitkan bagi para aparatur untuk melakukan pencegahan kejahatan, termasuk peredaran narkotika.
“Kalau daerah lintas seperti ini akan sangat sulit, karena apapun upayanya tetap saja akan terus ada,” kata dia.
Lebih lanjut, Edy menceritakan ketika dirinya menjadi ahli dalam sebuah kasus peredaran narkoba yang melibatkan seorang pengedar dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Pelaku mengaku mendapatkan narkotika dari daerah Aceh dan akan dikirimkan ke NTB, namun pelaku akhirnya tertangkap di Lampung.
Kasus semacam ini menurutnya kerap kali terjadi di Lampung, sehingga baginya akan sangat sulit jika melihat wilayah Lampung yang menjadi lalu lintas atau gerbang keluar masuk masyarakat dari berbagai daerah.
Adapun menurutnya hukuman yang sepatutnya dijatuhkan kepada pengedar narkotika sudah diatur dalam Beberapa pasal yang dapat diterapkan bagi pihak yang memiliki narkotika untuk mengedarkan, menjual atau pihak yang menjadi perantara, antara lain Pasal 111, 112, 113, 114, dan 132. Ancaman hukuman dalam pasal tersebut yaitu penjara minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati.
Sementara untuk pengguna atau pemakai, jeratan hukum yang dapat dikenakan atau diterapkan menurut Edy bagi pemakai atau pecandu narkoba diatur dalam Pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009. Adapun ancaman hukumannya lebih ringan, yakni menjalani rehabilitasi, atau dipenjara dengan masa maksimal empat tahun.
“Untuk pengguna bisa dikenakan maksimal pidana mati, dan untuk pemakai itu bisa satu tahun, empat tahun, tergantung hasil penyidikan,” ujarnya.