Jelajah Destinasi Ekowisata CMC Tigawarna, Keseruan Healing by Learning Bagi Pelancong

Jawa Timur (Lampost.co) — Krekkk..krekkkk..krekkkkkk..orkestra tonggeret meningkahi perjalanan kami menyusuri hutan konservasi menuju Pantai Gatra. Selasa, 22 November 2022, pada pagi yang sejuk, kami para peserta lomba jurnalistik dan fotografi Porwanas 2022 Malang, menjejaki Kawasan Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tigawarna. Terletak di Dusun Sendangbiru, Desa Sitiharjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, destinasi tersebut ternyata menyimpan pesona alam nan memikat.

Hawa segar mengiring penjelajahan kami. Di sini, ketenangan langsung terasa. Ya, pelancong bisa menyehatkan diri dan jiwa dengan menghirup udara bersih tanpa kebisingan kendaraan. Masuk dari Jalan Argotirto, kendaraan wisatawan mesti berhenti dan parkir di Pos 1, sebagai ‘pintu masuk’ kawasan. Pengunjung hanya diizinkan menaiki motor roda tiga yang tersedia untuk sampai ke Pos 2 yang berjarak sekitar 900 meter.

Di Pos 2, pengunjung wajib membuka tas dan menunjukkan barang bawaan kepada petugas. Utamanya, barang yang berpotensi menjadi sampah seperti botol air mineral dan masker sekali pakai. “Kita mulai ya pengecekan. Minuman botol ada berapa? 14 ya,” ujar petugas berseragam biru kepada pengunjung sembari mengisi formulir check list di hadapannya. “Rokok, mi instan, dan makanan ringan, apakah ada?” lanjut pemuda itu hingga semua item rampung didata. Setelah itu, ia menjelaskan tentang manajemen sampah dan aturan lainnya selama berwisata di Kawasan CMC Tiga Warna. Pelancong dilarang keras membuang sampah di kawasan itu. Jika saat pengecekan pulang ada barang bawaan yang kurang, maka yang bersangkutan wajib kembali ke area wisata dan mencari barang atau sampah itu. Kalau tidak berhasil menemukan, wajib bayar denda Rp100.000 per item yang hilang. Uang itu akan dipakai untuk mencari sampah tersebut dan menunjang pelestarian kawasan. Sejak dibuka hingga saat ini, ada 5 % wisatawan yang didenda karena melanggar manajemen sampah.

Tim melanjutkan perjalanan. Baru dua menit berjalan, kami tiba di laboratorium kawasan mangrove. Di sana, ada 14 jenis mangrove seperti Rhizhopora dan Mentigi yang berbunga merah serupa bentuk cengkih. Bahkan, mangrove jenis Makaka yang hampir punah, terawat lestari di laboratorium itu.
Keseruan kian bertambah tatkala langkah kaki pengunjung disambut oleh ribuan kepiting biola warna-warni yang berlarian ke sana-kemari. Saat didekati, kepiting biola itu malah menghindar dan bersicepat masuk ke pasir. Tingkah kepiting berukuran sebesar ibu jari dengan capit yang besar sebelah itu amat jenaka.

Penyusuran berlanjut. Tiga menit kemudian, kami tiba di pantai pertama, Clungup. Saat itu, air tampak surut sehingga hamparan pasir putih terpampang luas. Berfoto sejenak di daerah estuari itu, kami kembali menyusuri jalan setapak menuju pantai berikutnya. Hanya butuh 5 menit untuk sampai di pantai kedua, Gatra.

Berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, gulungan ombak besar berkejaran langsung menghipnotis. Kontur pantai yang landai membuat pelancong leluasa berkano. “Pantai ini memang real untuk rekreasi. Kalau mau naik kano, tarifnya Rp50 ribu bisa sampai dua jam,” ujar Manager Bahari CMC Tigawarna, Trio Eko Yolanda.
Aliran air nan jernih di pantai itu terasa ramah bagi wisatawan yang hendak berenang. Kedalaman air hanya sekitar 2 meter dengan gugusan Pulau Drio yang menjadi batas aman area kano dan renang dengan laut lepas. Sebelum berkano, wisatawan mendapat arahan wajib mengenakan atribut keselamatan seperti pelampung. Di tempat ini, ada dua penjaga pantai yang selalu siaga membantu pengunjung. Aturan berwisata di Pantai Gatra juga sama, dilarang keras meninggalkan sampah. “Kami mengajak wisatawan sama-sama belajar menjaga alam. Di sini, kita healing by learning,” tutur Trio.

Quality Tourism

Pesona pantai dan lestarinya ekosistem pesisir di kawasan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Ada perjuangan panjang dari warga setempat yang rela mengorbankan diri demi merawat pesisir.
“Sampai ditangkap polisi karena ada aduan dari orang-orang yang terusik saat saya mulai menanami hutan mangrove yang gundul,” kisah Ketua Yayasan Bakti Alam Sendangbiru Saptoyo. Destinasi CMC Tigawarna berada di bawah naungan Yayasan Bakti Alam Sendangbiru yang kini menghasilkan stok karbon permukaan setiap jenis mangrove 3.856,05 ton. Perjuangan menyelamatkan pesisir dilatari keprihatinannya pada kerusakan besar lingkungan pada 1998. Perambah liar merajalela hingga pada 2005 kawasan mangrove hanya tersisa 5 hektare. Sementara 81 hektare lainnya rusak berat.

Pria paruh baya itu akhirnya memutuskan mulai merehabilitasi kawasan gundul. Lahan yang tereksploitasi besar-besaran itu harus dipulihkan. Aksi reboisasi Saptoyo amat kontras dengan perilaku kebanyakan warga yang justru menebangi hutan. Agar gerakan penghijauan kembali lebih masif, ia mengajak tetangga terdekat untuk ikut. Awalnya, ada 25 orang yang bersedia menjadi rekannya memperbaiki hutan. Namun, ternyata aksi mulia itu malah menuai badai. Pada 2015, Saptoyo ditangkap polisi atas laporan oknum warga yang terganggu dengan ikhtiar pemulihan lahan. Rumahnya digeledah. Ia mendekam beberapa saat di balik jeruji besi. Gerakan rehabilitasinya malah dituding sebagai aksi ilegal perusak lingkungan. “Setelah peristiwa itu saya justru semakin menggebu-gebu menjaga pesisir,” ujarnya.

Kini, di bawah naungan yayasan bentukannya, Saptoyo berhasil merangkul warga menjadi anggota penjaga pesisir. Hampir semuanya ialah mantan perambah mangrove dan pencuri terumbu karang. Terjadi ubah laku masyarakat terhadap barisan penjaga pantai yang meliputi terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan hutan pantai. Hingga kini, 77,7 hektare kawasan yang tadinya rusak, hijau kembali. Aksi penyelamatan alam itu menuai apresiasi dari pemerintah. Kemenparekraf mendaulat kawasan tersebut masuk 5 destinasi Pilot Project Carbon Footprint G20.

Dewan Pendiri Yayasan Bakti Alam Sendangbiru, Lia, mengatakan jumlah kunjungan per bulan sebanyak 3.000–4.000 orang. Pihaknya menegaskan bukan berorientasi pada kuantitas wisatawan seperti destinasi kebanyakan. “Kami menyuguhkan quality tourism, ekowisata yang menjaga keseimbangan ekologi dan budaya SDM dalam menjaga alam,” ujarnya. Kesungguhan menjaga alam itu berbanding lurus dengan manfaat ekonomi di kemudian hari.

Destinasi CMC Tigawarna kini masyhur ke segala penjuru. Efek domino yang dipetik warga adalah tingginya kebutuhan wisatawan untuk menginap dan berburu makanan khas. Ekonomi kerakyatan menggeliat. Bisnis penginapan dan kuliner menjelma sebagai keran pendapatan baru yang berujung pada kemaslahatan daerah. “Alam bisa lestari karena dijaga warga. Dan warga pun pasti sejahtera karena sudah menjaga lingkungan,” ujarnya.

Semangat menjaga alam dari Dusun Sendangbiru menuai kekaguman dari Ketua PWI Jawa Timur, Lutfil Hakim. Tingginya semangat masyarakat dalam melindungi pesisir seraya mengembangkan sektor wisata perlu mendapat perhatian dan dukungan bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga swasta dan NGO. Pemerintah diharapkan aktif menyalurkan stimulus bagi pelaku ekonomi kerakyatan untuk meningkatkan denyut nadi usaha. “Upaya pegiat lingkungan tersebut bukan sekadar menyumbang pendapatan daerah, melainkan juga menjaga alam untuk kehidupan generasi berikutnya,” tutup dia.

Deni Zulniyadi