KPU Dinilai Tak Mampu Transparan terkait Dugaan Kecurangan Pemilu

Bandar Lampung (Lampost.co) — Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai gagal menerapkan asas transparansi terkait dugaan kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Guru Besar Ilmu Politik Unila, Prof Ari Darmastuti, mengatakan ada banyak pertanyaan publik terkait dugaan kecurangan pemilu. Namun, penyelenggaraan tidak mampu mengakomodir.

Hal itu berujung kepada munculnya keraguan masyarakat terhadap akuntabilitas dan profesionalitas KPU sebagai penyelenggara.

Termasuk dalam aplikasi Sirekap yang direncanakan untuk memonitor proses pemungutan suara di TPS. Namun, ternyata membingungkan masyarakat.

“Sirekap itu kan untuk transparansi laporan sehingga orang bisa mengontrol. Tapi, faktanya enggak masuk akal. Masa angka di satu TPS lebih besar dari DPT-nya. Ini harus ada IT Forensik. Kalau ada yang mengubah, siapa yang mengubah, kalau ada yang salah, bagian apanya. Ini harus bisa dijelaskan,” ujar Ari, Selasa, 19 Maret 2024.

BACA JUGA: KPU Telah Sahkan Perolehan Suara Pemilu di 33 Provinsi

Akademisi Ilmu Pemerintahan Fisip Unila itu menilai pengajuan hak angket tidak memiliki hubungan dengan hasil pemilu. Namun, hak angket bisa menjadi jalan untuk proses penangguhan.

Meski begitu, jika terbukti terdapat kecurangan yang terstruktur, masif, dan sistematis (TSM) akan mendelegitimasi hasil pemilu.

“Misalnya terstruktur dengan adanya pengerahan. Kalau kesalahan Sirekap itu adalah kesalahan IT atau manusia? Selama ini KPU tidak bisa menjawab itu. Sehingga, masyarakat sanksi karena faktanya seperti itu,” kata dia.

Selain itu, sanksi etika berat baik untuk Ketua MK dan Ketua KPU seharusnya mendapatkan sanksi pemberhentian tetap dari keanggotaan MK dan KPU. Sebab, efek tindakan itu merusak demokrasi yang berkepastian hukum. “Kalau mereka profesional dan akuntabel pasti itu selesai,” ujarnya.

 

Guru Besar Ilmu Politik Unila, Prof Ari Darmastuti. Lampost.co/Ihwana Haulan