Tag: harimau di lampung

  • Tim Satgas Penanganan Harimau Terus Bekerja Ditengah Hujan

    Tim Satgas Penanganan Harimau Terus Bekerja Ditengah Hujan

    Liwa (Lampost.co) — Satgas penanganan dan evakuasi harimau pemangsa manusia, Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh, Lampung Barat, hingga saat ini masih terus bekerja meskipun ditengah hujan.

    Setelah mendapat tambahan tenaga karena kedatangan tim dari Taman Safari, kini upaya penangkapan oleh tim Safari berada pada lokasi kejadian pertama yaitu Pekon Sumberagung.

    Fokus pencarian Sumberagung karena Tim Satgas pencari jejak telah mencium aroma busuk pada sekitar lokasi kejadian pertama yang kemungkinan adanya bangkai sisa makanan harimau.

    Koordinator Satgas penanganan harimau, Kapten Inf.Suroto, yang juga Koramil Batubrak mengatakan pada hari pertama tim Safari tiba, Satgas melakukan penyusuran jejak harimau.

    “Namun kendalanya yaitu dua hari ini selalu terjadi hujan sehingga Satgas kesulitan untuk mendapatkan jejak yang jelas. Tetapi tim Satgas sempat mencium aroma busuk dari semak belukar,” jelas dia.

    Untuk itu, Satgas saat ini tengah membuat jebakan kayu berdasarkan petunjuk dari tim Safari.

    Selain memasang jebakan dari kayu itu, saat ini tim penakluk harimau dari Taman Safari juga bekerja pada lokasi kejadian pertama yaitu daerah Sumberagung.

    “Untuk sementara ini tim Safari fokus berkerja pada lokasi kejadian pertama yaitu Pekon Sumberagung karena kemungkinan harimaunya masih berada pada sekitar lokasi tersebut,” kata dia.

    Dalam melaksanakan tugas penanganan harimau itu, saat ini petugas terbagi dua tim. Tim pertama bertugas memantau jejak dan kandang yang sudah terpasang untuk empat titik sebelumnya. Kemudian tim kedua yaitu sedang membuat jebakan kayu sekitar Pekon Sumberagung.

    Empat perangkap harimau yang sudah terpasang lokasinya yakni Pekon Hantatai merupakan lokasi kejadian kedua.

    “Kemudian Pekon Sukamarga lokasi kejadian ketiga dan lokasi setrategis lainya yaitu tempat yang menjadi lokasi persinggahan harimaunya,” katanya.

    Pihaknya meminta agar masyarakat bersabar dan untuk sementara tidak pergi ke kebun dulu demi keselamatan dan percepatan upaya penangkapan.

  • Jangan Ditembak, Begini Solusi Mengatasi Konflik Warga dan Harimau di TNBBS

    Jangan Ditembak, Begini Solusi Mengatasi Konflik Warga dan Harimau di TNBBS

    Bandar Lampung (Lampost.co) — Ahli Ekologi, Yob Charles, menyarankan masyarakat sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dapat hidup berdampingan dengan satwa liar, seperti harimau. Cara itu untuk mengantisipasi konflik satwa dengan manusia di Kecamatan Suoh, Lampung Barat itu.

    Eks Project Leader WWF BBS Indonesia itu menyebut naluri alamiah harimau sebenarnya selalu menghindari manusia. Namun, kondisi satwa itu saat ini terdesak akibat habitatnya berubah menjadi kebun kopi dan pertanian. Akibatnya populasi dan distribusi satwa mangsa harimau terus berkurang.

    “Kondisi itu yang akhirnya mengubah perilaku alami harimau menjadi agresif dan berani menyerang manusia,” kata Charles, Selasa, 12 Maret 2024.

    Untuk mengatasinya, masyarakat sebaiknya berbagi ruang hidup bersama satwa liar. Hal itu dengan mengupayakan peningkatan kualitas habitat harimau melalui restorasi hutan dan tidak boleh mendapatkan gangguan.

    Dia menilai warga sebaiknya tidak abai terhadap lingkungan yang menjadi tempat hidup satwa liar yang keberadaannya harus tetap harus terjaga. Hal itu meski harga kopi dan kakao bernilai tinggi dan menjadi mata pencarian utama masyarakat.

    BACA JUGA: Anggota DPRD Lampung Barat Minta Harimau di TNBBS Ditembak

    “Tetap butuh standar dan perhitungan yang baik sehingga berbagi ruang sebagai cara realistis. Lalu dukungan pendidikan dan penyadaran masyarakat juga penting,” ujar dia.

    Dia mengingatkan seluruh pihak tidak bisa main tembak harimau meski telah menyerang manusia. Sebab, keberadaan harimau Sumatra statusnya dilindungi sesuai aturan negara dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam.

    “Populasinya harimau di TNBBS hanya 2,8 individu per 100 km². Cara terbaiknya sekarang hanya berbagi ruang dan kembali pada kearifan lokal,” katanya.