Bandar Lampung (Lampost.co)–Saat ini sebagian masyarakat masih menganggap bahwa politik sebagai hal yang kotor. Sebab dalam praktiknya, para pelaku kerap melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya terlebih dalam kontestasi Pemilu.
Untuk itu perlu ruang-ruang alternatif untuk memberikan edukasi politik terhadap masyarakat. Hal tersebut yang menjadi cikal-bakal didirikannya Lampung Democracy Study (LDS) pada 1 Juni 2022 lalu.
Direktur LDS, Een Riansah mengungkapkan, organisasi tersebut beranggotakan dari kalangan aktivis, akademisi, jurnalis, hingga pengacara. Bahkan inisiasi pendirian berasal dari Mantan Ketua Bawaslu Lampung Fatikhatul Khoiriyah.
Ia menjelaskan, politik identitas, politik uang, arus informasi dan komunikasi yang timpang, kecenderungan nalar biner, black propaganda, hoax, hate speech yang semakin hari kian menyesaki panggung politik di Indonesia. Hal itu membuat nilai-nilai ideal demokrasi semakin terdegradasi.
“LDS berdiri sebagai respon terhadap realitas demokrasi di Indonesia yang terus mengalami degradasi nilai,” ungkapnya.
Permasalahan tersebut juga membuat dinamika demokrasi menjadi stagnan dan malah cenderung mundur. Sebab pertarungan wacana yang hadir di ruang publik tidak lagi mencerdaskan tetapi justru kerap menciptakan perpecahan di dalam masyarakat.
Hal tersebut bisa dilihat dalam dinamika saat pelaksanaan menjelang, saat, dan pasca Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kontestasi yang terjadi cenderung mendahului kepentingan ketimbang nalar.
“Dominasi kepentingan individu atau kelompok itu akhirnya mendistorsi akal sehat dan mendegradasi nilai dari demokrasi itu sendiri,” kata dia.
Berdirinya LDS diharapkan bisa menjadi ruang edukasi politik dan demokrasi yang sehat dan partisipatif. Sebab masyarakat harus paham pentingnya menjaga sistem demokrasi dalam bernegara.
Hal tersebut dilakukan dengan berbagai gelaran diskusi ihwal isu-isu yang menjadi perhatian publik. Masyarakat perlu mendapatkan wajah lain tentang demokrasi agar tetap memiliki nilai-nilai yang harus diperjuangkan.
“Selama ini masyarakat cenderung mendapatkan informasi politik melalui media sosial yang cenderung menampilkan satu wajah,” tuturnya.
Putri Purnama