Menggala (Lampost.co) — Ancaman penyakit acute hepatopancretic necrosis disease (AHPND) semakin dirasakan para pembudidaya udang di Rawajitu, Tulangbawang. Dalam waktu dua tahun terakhir ribuan hektare lahan tambak mati suri.
Penyakit tersebut menyerang usaha budidaya udang yang sedang berjalan, dengan cepat mematikan bibit udang atau benur yang berada di dalam kolam pembesaran.
Kepala Bidang Infrastruktur Budidaya Perhimpunan Petambak Pembudidaya Udang Wilayah (P3UW) Lampung Sutikno Widodo mengatakan dampak serangan penyakit itu mengakibatkan ribuan haktare lahan tambak terbengkalai, akibat gagal panen.
“Petambak terpaksa meninggalkan tempat usahanya, karena hampir dua tahun gagal panen dan enggak bisa kembali berusaha akibat putus modal,” kata Sutikno Widodo, Senin, 16 Oktober 2023.
Dia menjelaskan, ancaman penyakit yang menyerang secara masif udang usia di bawah 40 hari itu sudah berlangsung sejak 2021 dan hingga kini belum dapat teratasi.
“Penyakit ini menyerang udang usia 10 sampai 40 hari pasca benur ditebar di petak tambak pembesaran. Fenomena kematian dini bibit udang menjadi momok yang menakutkan bagi para petambak,” kata dia.
Dia menjelaskan, pertambakan Dipasena memiliki luas lahan sekitar 16.000 haktare terdiri dari 3.604 haktare tambak dan 7.000 pembudidaya. Dari jumlah itu, persentase tambak yang mampu panen hanya berkisar 35 persen dengan survival rate (kelangsungan hidup) di bawah 50 persen.
Gejala klinis serangan AHPND ini, lanjut dia, menunjukkan kosongnya saluran pencernaan, kulit menjadi lunak, hepatopankreas berwarna pucat dan mengecil, dan bintik hitam di hepatopankreas.
“Udang yang lemas mati di dasar kolam atau tambak, ini yang membuat petambak kecolongan. Angka kematiannya bisa mencapai 100 persen,” ujar Sutikno.
Akibat serangan penyakit itu, membuat produksi udang Bumidipasena merosot tajam. Dua tahu lalu, ulas dia, produksi udang mampu mencapai 60 ton per hari.
“Saat ini produksi udang hanya mampu mencapai 10 sampai 13 ton per hari. Kondisi ini yang paling buruk sejak 15 tahun terkahir dan sangat berdampak bagi perekonomian masyarakat Bumidipasena yang menggantungkan hidup dari budidaya udang,” ujarnya.
Dampak serangan penyakit itu, membuat ribuan petak tambak mati suri karena ditinggalkan para petambak yang lebih memilih bekerja serabutan. Para investor yang selama ini bekerja sama dengan sistem kemitraan juga enggan mengambil resiko untuk berinvestasi.
Dia menyebutkan, salah satu pemicu penyebaran penyakit yang disebabkan infeksi bakteri strain Vibrio parahaemolyticus (VP AHPND) itu, karena pendangkalan saluran perairan Dipasena. Akibat pendangkalan itu, lanjut dia, bakteri bersarang di lumpur dan sedimentasi.
Dia mengaku, upaya untuk memulihkan kejayaan usaha pertambakan udang Dipasena dengan memperbaiki saluran. Meski begitu, usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil yang maksimal.
“Hingga saat ini sudah 50 persen saluran buang telah dilakukan normalisasi oleh P3UW Lampung dengan pembiayaan murni swadaya masyarakat petambak Bumidipasena. Tetapi hal ini belum berpengaruh dengan hasil budidaya udang,” katanya.
Dedi salah satu petambak Bumidipasena , Kecamatan Rawajitu Timur yang berada di Blok 3 Jalur 29 nomor 9 lebih memilih membiarkan tambaknya terbengkalai. Dia bilang, untuk sepetak tambak berukuran 2000 meter persegi dibutuhkan modal sekitar Rp50 jutaan.
Saat ini, dirinya lebih memilih bekerja serabutan lantaran putus modal akibat beberapa kali gagal panen.
“Musim lagi enggak bersahabat, kalau sekarang ini sama saja buang uang ke laut rata-rata enggak pulang modalnya, malah rugi,” ujar Dedi.
Nurjanah