Jakarta — Kubu mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina, Karen Agustiawan, menilai ada pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, penetapan tersangka dan penahanan tanpa dokumen bukti yang lengkap.
Hal itu sebagai respons dari penundaan sidang gugatan praperadilan atas status tersangka dari KPK. KPK meminta penundaan karena membutuhkan waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti.
“Semoga permintaan penundaan KPK ini bukan upaya menghalangi hak Ibu Karen mengajukan permohonan praperadilan,” kata Kuasa hukum Karen Agustiawan, Togi MP Pangaribuan, dikutip dari Medcom, Kamis, 19 Oktober 2023.
Sidang praperadilan perdana dijadwalkan pada Senin, 16 Oktober 2023. Namun, KPK tidak hadir dan hanya mengirim utusan yang membawa surat meminta penundaan sidang selama tiga minggu.
Majelis hakim ternyata mengabulkan permintaan penundaan sidang tersebut selama sembilan hari.
Dia menilai terdapat kejanggalan dalam penetapan tersangka kepada kliennya. Sebab, penetapan tersangka bersamaan dengan mulainya proses penyidikan.
Padahal, Karen tidak pernah menjalani pemeriksaan sebagai saksi selama proses penyidikan. Selain itu juga belum ada bukti permulaan yang cukup dan sah untuk menunjukkan kliennya melakukan korupsi.
Dia menjelaskan KPK menetapkan Karen Agustiawan sebagai tersangka pada 6 Juni 2022. Namun, proses pemeriksaan di tahap penyidikan itu tertunda.
Pemeriksaan tersangka untuk pertama kali baru terjadi pada 19 September 2023 atau 1 tahun 3 bulan setelah penetapan tersangka.
“Pemeriksaan hanya satu kali dan langsung ditahan. Artinya, proses penyidikan, pentersangkaan, dan penahanan tersangka ini terindikasi melanggar HAM,” ujarnya.
Menurut dia, proses penyidikan, penetapan tersangka, dan upaya paksa KPK terhadap kliennya tidak sesuai dengan asas legalitas dan perundang-undangan. Selain itu melanggar asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap HAM.
“KPK sepatutnya menjunjung tinggi hal-hal tersebut dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan wewenang, sesuai ketentuan Pasal 15 jo Pasal 5 UU KPK. Untuk itu, penyidikan, penetapan tersangka, dan upaya paksa merupakan proses yang tidak sah dan tidak berdasar hukum,” kata dia.
Sementara itu, KPK mempersilakan Karen membela diri. Namun, penyidik mengklaim telah mengantongi bukti sebelum menjerat dan menahan Karen.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata meyakini bukti yang ada cukup untuk menjerat Karen. Semua data juga bisa diuji dalam persidangan.
“Berdasarkan kecukupan alat bukti, kami meyakini ada peristiwa pidana dan pelaku tindak pidana korupsi,” kata Alex.
Effran Kurniawan