Bandar Lampung (Lampost.co) — Assalamualaikum, hai sobat sai, saya Muhammad Faqih Rahman. Kali ini saya akan menyampaikan pembahasan tentang perilaku manusia yang kerap ditemui sehari-hari, yaitu jangan merasa paling benar.
Memang tidak bisa dimungkiri kehidupan sehari-hari, sering terjadi baik di dunia nyata maupun dunia maya ditemukan kalimat celotehan “jangan merasa paling benar”, “jangan merasa benar sendiri”, “jangan merasa paling baik”, dan “jangan merasa paling suci”.
Kalimat-kalimat seperti ini biasanya muncul saat orang dihadapkan pada kondisi perdebatan, perbedaan pandangan politik, keterusikan akan keyakinan, dan rasa tidak senang saat mendapatkan teguran atau nasihat. Dan juga, hal ini tidak bisa disangkal dalam pergaulan dengan sesama manusia.
Kita sering bertemu dengan orang-orang yang levelnya lebih rendah dari diri kita, baik secara keilmuan, pengalaman, harta benda, maupun secara pemahaman agama. Akhirnya kita tergoda untuk merasa diri lebih baik dari yang lain. Pada kondisi seperti itu, tidak jarang perilaku merasa paling baik dan benar membawa dampak buruk bagi diri yang bersangkutan dan lingkungan sekitarnya.
Setidaknya, orang yang merasa paling benar tergolong ujub dan takabur yang menjadikannya kurang dipercaya dan dihargai orang lain. Sikap seperti itulah yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik di antara sesama umat manusia.
Dalam Islam, kita tidak dianjurkan untuk merasa diri lebih baik dari yang lainnya. Bahkan dianggap sikap tercela, ini yang sering dialami kita tatkala sudah lama belajar agama.
Merasa diri sudah lebih dari orang lain dan lebih paham dari yang lain. Padahal kekurangan kita teramat banyak.
Maksiat kecil-kecilan bahkan yang besar masih dilakukan. Ilmu yang telah kita pelajari pun sedikit yang diamalkan. Seharusnya, prinsip yang harus dipegang adalah jangan selalu merasa diri sudah baik, namun berusaha terus memperbaiki diri menjadi lebih baik.
Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
“Dan Dialah lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Q.s An-Najm: 32)
Janganlah engkau mengatakan dirimu suci, dirimu lebih baik. Nabi saw bersabda:
“Janganlah menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik diantara kalian.” (HR. Muslim)
Jika kita ingin memiliki tahu bahayanya menganggap diri lebih baik, maka coba lihatlah pada kekurangan kita dalam ketaatan. Lalu lihat para orang yang menyatakan kita baik. Maka, kalau
seandainya mereka tahu kekurangan kita, pasti mereka akan menjauh. Seharusnya, sikap seorang muslim adalah mengedepankan suuzan (prasangka jelek) pada diri sendiri yaitu merasa dirinya serbakurang.
Dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.”
Hikmah petikan hadis di atas bahwa orang yang rajin beribadah sering dialokasikan sudah merasa paling benar secara mutlak dengan jaminan masuk surga, sementara orang lain yang sering melakukan dosa akan selalu dalam kondisi hina dan nerakalah balasannya, dalam hadis di atas kondisi itu justru sebaliknya.
Selain itu, kisah di atas juga mengisyaratkan pesan secara tegas agar kita tidak merasa paling baik dan benar untuk hal-hal yang sesungguhnya menjadi hak kewenangan Allah Swt.
Jadi gini sobat sai, “di atas langit masih ada langit”. Ya, di atas orang pintar, pasti ada lagi yang lebih pintar. Di atas orang alim yang pernah kita lihat, pasti ada orang yang lebih alim yang barangkali belum kita lihat.
Berbagai capaian yang kita peroleh, tidak usah kita terlalu berbangga diri. Kita punya pengetahuan segudang, tidak perlu kita bangga diri. Punya prestasi yang meroket, tidak perlu kita terlalu memuji diri.
Jangan sampai berbagai capaian tersebut kita merasa sombong, apalagi merasa paling hebat, pintar dan lainnya. Dan tetaplah rendah hati, apa pun kegemilangan yang kita capai. Sebab, semua itu hanyalah titipan dari Yang Maha Pemilik Segalanya.
Inget ya sobat sai, jangan pernah merasa diri paling baik. Jangan pernah merasa diri paling hebat. Jangan pernah merasa diri paling berilmu. Jangan pernah merasa diri paling saleh, dan jangan pernah merasa diri paling rajin beribadah.
Sebab, jika kita menganggap diri seperti yang saya sebutkan itu, kita sudah masuk golongan orang yang memiliki sifat sombong. Bukankah Allah tidak suka dengan orang-orang yang memiliki dan memelihara sifat sombong?
Akan sia-sia yang kita lakukan, manakala sifat sombong sudah melekat pada diri kita. Percuma saja berbagi kebaikan yang kita lakukan, bilamana kita selalu takabur.
Tidak berguna beragam kebaikan yang kita lakukan, apabila kita memiliki sifat angkuh.
Tekun beribadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama bagi setiap orang, tetapi justru menjadi malapetaka ketika perilaku tersebut diikuti dengan rasa ujub dan takabur dengan kewenangan menghakimi (memvonis) orang atau kelompok lain sebagai golongan yang mulia atau hina, masuk neraka atau surga dan dilaknat atau diberi rahmat itu adalah kewenangan Allah swt.
Kita cukup menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Secara lahiriah tidak ada tolok ukur apapun yang mampu mendeteksi kualitas hati dan keimanan seseorang secara pasti sebagai sebuah kebenaran.
Dan di dalam agama Islam pun mengajarkan kepada umatnya agar terhindar dari perilaku merasa paling benar dan diperintahkan untuk selalu melakukan koreksi diri (muhasabah) serta meluruskan niat untuk kebaikan daripada mencari kesalahan pribadi orang lain yang belum tentu lebih baik buruk di hadapan Allah Swt. Sebab itu, sebagai seorang muslim sangat dianjurkan untuk lebih mengenal dirinya sendiri (introspeksi diri) guna menghindarkan kita dari berbagai penyakit hati sombong, riya, ujub, takabur, dan sebagainya.
Deni Zulniyadi