Bandar Lampung (Lampost.co) — Sudah hampir setengah dasawarsa. Tubuhmu yang hanya tinggal tulang berbalut kulit keriput itu terbaring tanpa daya. Ringkih seperti batang kayu yang lapuk dimakan usia. Badan kekar berisi yang dulu sempat kau agung-agungkan itu, yang konon menjadi musabab mengapa Eyang Putri begitu kesengsem padamu, kini hanya tinggal cerita.
Pun demikian dengan wajahmu. Wajah berseri yang disebut-sebut mirip AN Alcaff, aktor tersohor yang membintangi film Istana yang Hilang, kini juga telah sirna. Berganti menjadi wajah renta penuh kerutan di dahi dan kedua pipi.
Kalaupun ada yang tetap sama, barangkali adalah hidungmu. Ya, hidung itu kukira tidak pernah berubah dari dulu. Meski di kedua rongganya telah lebat dipenuhi rambut, hidung mancung itu tetap tampak kukuh. Serupa monumen yang mampu membangkitkan ingatan siapa saja, bahwa di sanalah lambang sebuah ketampanan pernah tercipta.
Itu saja. Selebihnya, sekarang ini, kau tak lebih dari sesosok manusia kerempeng dengan dada kembang kempis sebagaimana layaknya para pengidap asma. Kendati demikian, bukan itu semata yang membuatku nelangsa. Melainkan pasung yang terpasang di kakimu itulah, yang sekaligus menashihkan dirimu sebagai mahkluk pengidap gangguan jiwa; membuat getir di hati ini kian paripurna.
Bagaimana tidak? Sekian puluh tahun lalu, kisah-kisah perihal ketangguhanmu masih fasih terdengar di telinga. Seorang gerilyawan muda yang ikut turun ke medan laga dalam Pertempuran Lamuk saat agresi militer Belanda II. Yang konon dengan ajian Lembu Sekilan itu membuat rentetan butir peluru yang menyasar ke tubuhmu seolah tak ada apa-apanya.
Oleh Eyang Putri, cerita itu kerap diulang-ulang layaknya legenda yang wajib dirawikan pada sanak keturunan. Mendengarnya, aku seperti menemukan sosok pahlawan dalam dirimu. Pahlawan dalam arti sebenar-benarnya, yang setidaknya pernah kutemui dan kulihat secara langsung dengan mata kepala. Bukan pahlawan yang hanya bisa kubayangkan dalam pelajaran sejarah di SMA.
Atau cerita saat kau menjadi aktor utama dalam bersih-bersih desa pascageger politik di tahun ’65. Dengan sebilah sajam yang kau sebut sebagai Kudi Baureksa, kau bersihkan dusun ini dari orang-orang wong kiwo [1]. Betapa warga senantiasa mengingatmu sebagai sosok yang paling berjasa dalam menjaga keamanan dan ketentraman desa.
Kabar bahwa kau mengalami gangguan jiwa pertama kali sampai di telingaku beberapa hari setelah aku tiba di Yogyakarta. Kegembiraanku sebagai orang pertama di desa yang berhasil menyandang predikat mahasiswa Ilmu Komunikasi menandak hilang.
“Kau tak usah cemaskan Kakung, fokus saja sama kuliahmu,” demikian Eyang Putri mengabarkan sekaligus menasihatiku lewat sambungan wartel.
Tentu saja bukan perkara mudah untuk mengabaikan kabar duka itu. Bagaimanapun, ikatan batin antara aku denganmu, juga Eyang Putri, jauh melebihi ikatan batin antara aku dengan orang tua kandungku yang telah lebih dulu berpulang-Bapak meninggal saat aku dalam kandungan, Ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan.
Karenanya, semester pertama kujalani dengan perasaan campur aduk, dengan ingatan yang terus tertuju pada rumah, kepadamu. Imbasnya, nilaiku kacau; satu mata kuliah tak lulus.
Libur semester aku pulang ke rumah. Terkejut bukan main saat kudapati bahwa kakimu telah dipasung. Getir hati melihatmu yang hanya bisa tersenyum-kadang malah sampai terkekeh-kekeh-di atas tempat tidur.
“Dua kali Kakung mengamuk dan hampir membunuh orang dengan kudinya,” demikian Eyang Putri menjelaskan alasan mengapa kakimu akhirnya harus dipasung.
Maka, apa yang bisa kulakukan selanjutnya adalah berpasrah dengan kenyataan. Kenyataan bahwa aku mempunyai Eyang Kakung yang gila. Tak kurang juga ikhtiar demi ikhtiar dilancarkan Eyang Putri demi kesembuhanmu: menjual sepuluh ubin tanah untuk berobat ke rumah sakit jiwa, hingga membawamu ke pondok pengobatan spiritual di luar kota. Namun, hasilnya tetap nihil.
Sampai aku berhasil menyelesaikan studiku selama empat setengah tahun, kau belum juga pulih. Resmi menyandang gelar sarjana nyatanya tidak lantas membuatku buru-buru mencari kerja di kota. Aku bertekad untuk turut berikhtiar merawatmu agar bisa sembuh seperti sediakala.
Dan di saat itulah, Miswar Hadi, kawanku yang sempat hilang kontak selulus SMA, tiba-tiba menyarankanku untuk menemui Dul Wahid. Katanya, ia seorang kamitua dari desa tetangga yang punya riwayat menyembuhkan beberapa pengidap gangguan jiwa. Tanpa banyak menimbang, langsung kuturuti saran itu.
Pada hari dan jam yang telah ditentukan, aku menjemput Dul Wahid lalu membawanya ke rumah untuk melihat kondisimu. Setelah diperiksa dengan bantuan beberapa mantra dan doa-doa, juga tasbih yang melingkar di pergelangan tangannya, dia mengatakan dengan sangat yakin bahwa, “Kakungmu terkena wewelak [2]!”
“Wewelak?” tanyaku terheran.
“Ya, beberapa puluh tahun lalu, saat ada huru-hara politik itu, dia ikut memburu para wong kiwo, bukan?” tanya Dul Wahid.
“Iya, betul. Katanya ikut jadi algojo juga.” Eyang Putri yang duduk di sebelahku membenarkan.
“Wewelak itu berasal dari mereka yang dia sembelih pada malam celaka itu. Kalau Kakungmu ingin sembuh, dia harus diruwat dengan cara menggelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala [3] supaya terbebas dari segala sukerta [4]. Potonglah beberapa ekor kambing sebagai sesaji-juga sebagai sarana penebusan dosa-dengan jumlah sesuai orang yang dia sembelih.”
Aku tercengang, wajah Eyang Putri tampak mengkerut. Barangkali memikirkan dosa masa silam yang harus kau tanggung itu.
Namun, ada satu yang mengganjal dalam diriku. Mengapa hanya kau, Kakungku sendiri, yang harus menanggung wewelak ini? Bukankah di desa ini, sebagaimana semua orang tahu, ada beberapa orang yang ikut menghabisi wong kiwo?
“Kakungmu melalaikan satu hal. Dia lupa meminum darah wong kiwo. Itu sebabnya dia jadi seperti ini!” jelas Dul Wahid.
Ya, kendati pandangan modernku berkeras untuk menyangkal penjelasan itu, tapi lantaran Eyang Putri kukuh memercayainya, aku tak punya pilihan lain selain menurutinya. Bahkan, dia siap menjual lagi sebidang kebun di belakang rumah-itu satu-satunya tanah yang masih tersisa untuk membeli sejumlah kambing sekaligus menggelar pertunjukan wayang kulit.
Namun, sebelum itu, aku dan Eyang Putri mesti mencari tahu terlebih dahulu, berapa jumlah wong kiwo yang kau sembelih berikut dengan nama-namanya. Karena mustahil kau akan
menjawabnya, aku disarankan untuk menemui Eyang Martawi. Beliaulah yang konon
bersamamu pada saat proses penyembelihan di malam celaka, tujuh puluh tahun yang lalu.
Aku menemuinya di panti jompo yang lokasinya berada di kota. Sejujurnya aku merasa iba dengannya lantaran sanak keturunanya tak ada yang sudi merawatnya. Dia lebih tua tiga tahun darimu. Pandangannya kini sudah mengabur, tapi telinganya masih tajam.
Saat aku memperkenalkan diri, rupanya dia sudah mengenaliku. “Oalah, kamu Tanwiryo? Waktu kecil Kakungmu pernah membawamu ke rumah. Ndak terasa kamu sudah segede ini,” katanya sambil tersenyum, menandakan bahwa dia orang yang ramah.
Selanjutnya, kusampaikan keadaanmu yang begitu memprihatinkan, yang juga menjadi musabab mengapa aku menemuinya. Mendengar kabarmu, dia malah kembali tersenyum sambil mengatakan, “Kakungmu itu memang ngeyel orangnya!” Itu menandakan bahwa beliau benar-benar orang yang mengenalmu, luar dan dalam.
Namun, rasa iba juga bukannya tak tampak dari raut wajahnya. Terlebih saat kukatakan apa yang membuatmu menjadi seperti sekarang ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Dul Wahid, adalah karena dosa-dosamu di masa lampau. Sesaat, wajahnya menjadi datar. Dari gerak bola matanya, dapat kulihat bahwa ingatannya tengah kembali ke puluhan tahun silam.
“Entah itu dosa atau bukan, yang jelas, kami menganggapnya tugas negara. Apalagi selepas pemberitaan di radio-radio soal tindakan biadab yang dilakukan partai itu di Jakarta sana, kami diyakinkan bahwa darah orang-orang seperti mereka itu memang layak diminum,” katanya.
4G 84%
“Aku memang bersama Kakungmu saat itu. Catatan pamong desa, seingatku, ada sekitar 17 orang yang punya ikatan dengan partai terlarang itu. Aku dan Kakungmu, saat itu sama-sama jadi pengurus organisasi kepemudaan tingkat ranting, diminta ikut memburu mereka.”
“Malam itu, dengan truk milik batalion, kami menyisir sudut-sudut desa, memburu mereka. Setelah itu, mereka dibawa ke perkebunan tebu yang persis di lereng Kali Brantas- sekarang kalau tidak salah sudah jadi kuburan. Kakungmu sedari rumah sudah menenteng kudi panjang, namanya….”
“Kudi Baureksa,” sahutku. “… ya, itu, ia diberi mandat untuk menjadi salah satu algojo. Sementara itu, aku bertugas menyeret mereka satu per satu dari bak truk, Kakungmulah yang akan menuntaskan. Semua algojo sudah diinstruksikan untuk meminum barang setenggak darah yang mengucur dari setiap leher korban. Biar tidak gila. Tapi, aku tak tahu apakah Kakungmu melakukan itu atau tidak.”
“Terus, berapa orang yang dia sembelih?” aku tidak tahan untuk segera menanyakan ini.
“Seingatku ada enam orang,” jawabnya dengan yakin.
“Eyang masih ingat nama-namanya?” dia diam sesaat, lalu melayangkan pandangannya ke arahku.
“Kamu benar-benar ingin tahu?”
“Aku perlu tahu. Bukankah itu tujuanku datang ke sini.”
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan segera. Seakan yang hendak dibicarakan selanjutnya adalah sesuatu yang teramat penting.
“Sebenarnya aku sudah berjanji dengan Kakungmu untuk merahasiakan ini dari siapa pun. Eyang Putrimu pun tidak tahu. Namun, demi ikhtiar yang sedang kau lakukan-juga demi kesembuhannya-aku rasa aku harus mengatakannya.”
“Apa?”
“Satu di antara enam orang yang disembelih Kakungmu itu, ada nama Sukamto.”
“Hah?! Bukannya dia …. aku terkejut bukan main.
“Ya, masa itu, orang bisa dengan enteng menghabisi siapa saja, hanya karena beda pandangan dan keyakinan. Sukamto saat itu aktif sebagai wiyaga [5] di pertunjukan tayub, dekat dengan Lekra, organisasi yang katanya bersekutu dengan partai terlarang itu.”
Eyang Martawi tercenung sejenak sebelum melanjutkan, “Sesaat sebelum kudi itu menggorok leher Sukamto, kudengar Kakungmu berucap, ‘Tak sudi aku punya mantu Pe-ka-i”
Deni Zulniyadi