Pesawaran (Lampost.co) — Digitalisasi makin menunjukkan perkembangan pesat di Indonesia khususnya di Lampung. Sistem digital mendorong aktivitas ekonomi menjadi lebih efektif, efisien, dan praktis. Penggunaan teknologi dalam perekonomian itu turut menumbuhkan dan menopang keberlangsungan UMKM, di antaranya lewat pembayaran digital.
Pertumbuhan itu salah satunya dirasakan Hidayatullah dalam mengembangkan bisnis batik tulis di Desa Kurungan Nyawa, Kecamatan Gedung Tataan, Pesawaran. Sistem pembayaran cashless atau tanpa uang tunai menjadi sarana dalam melayani konsumen.
Dayat, sapaan akrab Hidayatullah, menggunakan quick response code indonesian standard (QRIS) sebagai instrumen pembayaran digital di Batik Lampung Andanan. “Pembayaran kami ada tiga cara, yaitu cash, debit, dan QRIS,” kata Dayat, Selasa, 9 Mei 2023.
Sistem pembayaran digital itu digunakan usaha kain tradisional khas Lampung itu sejak 2020 yang terintegrasi ke tiga bank pemerintah. Dia mengurus barcode QRIS di perbankan pun cukup mudah karena hanya menyediakan KTP, foto tempat usaha tampak dalam dan luar. Setelah itu pihak bank memproses barcode yang selesai dalam beberapa hari.
Namun, lanjutnya, penerapan secara masif di konsumen baru mulai pada 2021. Hal itu seiring lebih banyaknya masyarakat yang teredukasi untuk melakukan pembayaran melalui pemindaian kode batang dari ponsel.
Hal itu dibuktikan dengan selalu adanya konsumen yang membayar melalui QRIS setiap harinya. “Makanya kami sangat terbantu khususnya saat pameran. Jadi orang yang gak bawa uang tunai bisa tinggal scan barcode,” kata dia.
Berdayakan Kaum Marjinal
Dia menilai sistem itu tidak menyulitkan masyarakat, khususnya karyawannya yang merupakan anak putus sekolah, penyandang disabilitas, dan ibu rumah tangga. Sebab, Batik Andanan memberdayakan warga desa untuk membantunya merintis usaha tersebut.
“Mereka anak marjinal yang kami bina untuk memiliki keahlian membatik, produktif, menghasilkan karya, hingga pendapatan,” kata dia.
Pembinaan itu berjalan sejak 2018 atas inisiatif sang istri. Ide itu berangkat dari kepedulian terhadap masyarakat sekitar dengan motivasi bersama-sama berjuang membangun usaha batik Lampung.
Dia mengaku tidak memiliki kemampuan dasar di bidang kesenian. Sebab, pasangan itu sehari-harinya hanya sebagai dosen matematika di salah satu universitas swasta sekitar Pringsewu. Namun, Dayat bersama 10 warga desa tetap mencoba belajar secara otodidak hanya melalui video-video di Youtube, mulai dari proses mewarnai hingga menjadi pakaian dan aksesoris.
Hasilnya, kini jari-jari perempuan Desa Kurungan Nyawa, bisa dengan lentik memegang canting yang secara perlahan menorehkan pewarna pada kain-kain bermotif batik. Kain itu diolah sejumlah pria penyandang disabilitas menggunakan mesin jahit untuk disulap menjadi pakaian atau aksesoris berkelas yang dapat dikenakan untuk berbagai kegiatan.
“Awalnya ada 10 warga yang kami bina, tetapi hanya bertahan lima orang. Saya awalnya nekat membeli alat dan bahan dengan modal Rp2 juta, hingga mencari jaringan untuk pemasaran. Ternyata niat memberdayakan mereka itu didukung pihak lain,” ujarnya.
Hingga akhirnya, Batik Lampung Andanan mendapatkan proyek pertama untuk mengerjakan seragam rektor se-Indonesia. “Kami saat itu masih belajar, tetapi berusaha kuat agar hasilnya bagus. Ternyata dari situ kami mulai dikenal hingga di-support Pemerintah Daerah,” ujar dia.
Usahanya pun terus berkembang dengan banyak pemesanan dari berbagai instansi dan lembaga Pemerintah. Bahkan, dia pun kini mulai melayani pemesanan dari berbagai daerah Indonesia hingga ekspor ke luar negeri. “Pemesanan pernah ke Mesir, Brazil, dan Hong Kong,” kata dia.
Seiring pertumbuhan usaha, Batik Andanan yang awalnya hanya memiliki 15 karyawan dengan pesanan 100-200 lembar per bulan, kini memiliki 30 karyawan untuk membatik, menjahit, dan admin. Seluruhnya untuk melayani pemesanan hingga 4.000-5.000 lembar per bulan.
Kendati demikian, produk Batik Andanan awalnya dinilai tidak memiliki ciri khas. Hal itu menjadi kendala dalam bisnisnya. Terlebih, pasangan tersebut yang tidak memiliki ilmu membatik sehingga cukup kesulitan membuat karakter dalam produknya.
Namun, latar belakangnya sebagai pengajar di bidang matematika turut menjadi inspirasi untuk membuat batik bernuansa matematika, kimia, dan biologi. Corak khas rumus-rumus ternyata menarik konsumen hingga mendapatkan pesanan ke Brazil.
“Kami terus belajar hingga berkembang ke motif flora dan fauna, seperti gajah dan kopi, sebagai ciri khas Lampung. Tapi, secara khusus ciri batik Andanan memiliki motif yang simpel, warna cerah, dan elegan,” kata dia.
Adaptasi Era Digital
Di tengah perkembangan pesat usaha, dia masih bercita-cita untuk terus memperluas bisnisnya. Syaratnya harus peka terhadap perkembangan zaman dan beradaptasi dengan cepat, salah satunya dengan menerapkan sistem pembayaran digital.
Menurutnya, akses dan layanan keuangan yang mudah menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas dan ketahanan UMKM terhadap guncangan ekonomi.
“Pembayaran digital mempermudah UMKM sehingga dimana pun berjualan tidak perlu repot menyiapkan uang kembalian atau membawa mesin EDC (electronic data capture) yang harus tersambung listrik. Sekarang UMKM cukup bawa kertas gambar barcode untuk menerima pembayaran,” ujar dia.
Dengan model pembayaran itu, UMKM juga bisa terbilang naik kelas menjadi lebih kekinian karena menggunakan kemajuan teknologi dalam operasionalnya. “UMKM yang walaupun hanya menjual jamu tradisional bisa lebih modern karena pembayarannya tinggal scan barcode,” katanya.
Kendati demikian, dia menyarankan sistem QRIS bisa dikembangkan pada transfer ke rekening UMKM agar tidak harus menunggu 24 jam. Sebab, proses saat ini uang hasil penjualan tidak bisa langsung diterima pedagang dan harus menunggu 1×24 jam untuk masuk ke rekening.
Sementara saat waktu libur pengiriman ke rekening harus menunggu sampai hari kerja. Padahal, keberlangsungan UMKM berada pada uang yang terus berputar. “UMKM itu hari ini dapat uang langsung diputar untuk modal,” kata dia.
Pengguna Terus Bertambah
Sementara itu, Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung, Tony Nur Cahyono, mengatakan penggunaan QRIS di Lampung terus bertambah dan telah mencapai 700 ribu pengguna secara keseluruhan. Sedangkan khusus merchant terdapat sekitar 450 ribu UMKM, pedagang, dan toko. Jumlah itu akan terus meningkat seiring target penambahan pada 2023 yang dipatok 400 ribu pengguna baru.
Dia optimistis target itu dapat tercapai dengan gencarnya perbankan yang selalu mengedukasi masyarakat untuk menggunakan QRIS. Selain itu Pemerintah Daerah juga terus mengarahkan warganya untuk beradaptasi pada transaksi non tunai, salah satunya menggunakan QRIS. Sebab, dengan pembayaran digital masyarakat tidak perlu lagi membawa banyak uang tunai karena transaksi cukup melalui ponsel.
“Konsumen tidak perlu membawa dompet tebal-tebal, sedangkan merchant bisa transaksi secara online melalui perbankan,” kata dia.
Menurutnya, sistem pembayaran digital tersebut memiliki peran strategis dalam mengembangkan perekonomian khususnya pertumbuhan UMKM. Sebab, digitalisasi banyak membawa benefit dari sisi efisiensi, efektivitas, penurunan biaya produksi, kolaborasi, hingga jaringan bisnis.
“Untuk itu pembayaran digital selayaknya menjadi solusi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi,” kata dia.
Senada, pengamat ekonomi Universitas Lampung, Asrian Hendi Caya, mengatakan masyarakat harus terus diedukasi agar lebih akrab dengan pembayaran non tunai. Sebab, transaksi digital banyak membantu dan meringankan konsumen dan produsen.
“Bank-bank saat ini sudah menyediakannya, salah satunya QRIS. Sekarang lebih banyak pelaku usaha yang menyediakan QRIS sebagai alternatif pembayaran sehingga penggunaan di masyarakat pun terus meluas. Cara itu membuat transaksi jadi lebih aman. Orang-orang juga tidak perlu bawa uang tunai ke mana-mana,” katanya.
Effran Kurniawan