Kalianda (lampost.co) — Akibat monopoli dagang perusahaan besar, puluhan pengusaha penggilingan padi di Lampung Selatan, terancam gulung tikar atau bangkrut.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun lampost.co, istilah monopoli dagang digunakan karena harga gabah di Kabupaten Lampung Selatan menjadi sangat tinggi akibat dibeli oleh perusahaan yang berada di luar Lampung.
Perusahaan tersebut membeli gabah diatas harga pokok penjualan (HPP), membuat pengusaha penggilingan lokal tidak mampu bersaing, sehingga pabrik penggilingan padi tidak produksi.
Saat ini, harga pasaran Gabah Kering Panen (GKP) berkisar Rp5.500 – 5.700 kg, sedangkan perusahaan besar yang berdomisili di Serang, Banten, membeli seharga Rp6.000-6.100 kg langsung dari petani.
Dengan selisih harga yang tinggi tersebut, para petani di Lampung Selatan sangat diuntungkan, akan tetapi dampaknya harga beras di pasaran menjadi tinggi.
Tidak hanya itu, dalam waktu jangka panjang, cadangan beras daerah akan berkurang dan membuat gejolak di masyarakat, seperti halnya yang terjadi pada minyak goreng sawit belum lama ini.
Untuk itu, para pengusaha penggilingan padi yang tergabung dalam peguyuban berharap pemerintah turun tangan mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini. “Kami sangat berharap, pemerintah bisa turun membuat peraturan,” kata Rozikin Anwar, di Desa Sidowaluyo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan, Selasa, 9 Mei 2023.
Menurutnya, peraturan mengenai regulasi penjualan gabah tidak boleh dijual ke luar daerah sudah dibuat melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung, beberapa tahun lalu. “Sudah ada, tapi saya lupa nomor Pergub-nya,” ujarnya.
Namun Pergub tersebut sudah dicabut atau tidak berlaku lagi sejak diterbitkannya Surat Edaran Nomor 60/TS.03.03/K/03/2023 tentang harga batas pembelian gabah atau beras yang dikeluarkan Badan Pangan Nasional Republik Indonesia. “Sejak ini diterbitkan, maka Pergub tersebut tidak berlaku lagi,” katanya.
Ricky Marly