Jakarta (lampost.co) — Nilai-nilai toleransi penting untuk terus ditumbuhkan dan ditanamkan pada setiap anak bangsa di tengah tantangan yang dihadapi kebhinekaan Indonesia.
“Bagaimana kita semua menyadari bahwa perbedaan yang kita miliki ini memerlukan tata kelola yang berkelanjutan,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Pentingnya Nilai-Nilai Toleransi dalam Keberagaman Indonesia, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 1 November 2023.
Diskusi yang dimoderatori Abdul Kohar (jurnalis senior Media Indonesia) itu menghadirkan Brigjen Ahmad Ramadhan (Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri), Prof. Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia) dan Inayah Wulandari Wahid (aktivis Jaringan Gusdurian) sebagai narasumber. Selain itu, hadir pula Eva Yuliana (Anggota Komisi III DPR RI) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, sebelum terbentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sudah ada kesadaran akan perbedaan tumbuh dan menjadi satu-kesatuan dalam dinamika mencapai kemerdekaan.
Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, Indonesia juga memiliki konsensus kebangsaan (empat pilar) yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Namun, tegas Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, perkembangan dunia menciptakan tantangan baru pada keragaman Indonesia.
Setara Institute mencatat rata-rata Indeks Kota Toleran (IKT) nasional pada 2022 mencapai nilai 5,03, sedikit menurun jika dibandingkan dengan 2021 yang mendapat nilai 5,24.
Hal itu, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, menunjukkan kondisi toleransi di Indonesia masih stagnan dan belum mencapai nilai yang signifikan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkapkan bahwa negara kita adalah negara yang beragam suku, agama dan golongan. Negara Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah kekayaan.
Namun, tegas Ahmad Ramadhan, jika perbedaan ini tidak dikelola atau dibina dengan baik bisa menjadi peluang dan potensi terjadi gesekan sosial di masyarakat. Akibatnya, ujar Ahmad Ramadhan, kondisi negara bisa rentan dan masyarakatnya mudah diadu domba.
Kepolisian, jelas dia, menjalankan fungsi melindungi dan melayani masyarakat dengan mengedepankan tindakan preemtif dan preventif dalam menyikapi konflik dan melakukan penegakan hukum.
Tentu saja, jelas Ahmad Ramadhan, dalam penegakan hukum kepolisian bertindak dengan dasar hukum UUD 1945 dan Undang-Undang yang berlaku.
Partai Politik
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Prof. Komaruddin Hidayat mengungkapkan sejatinya DNA bangsa Indonesia itu plurarisme dan religius.
Di dalam masyarakat yang beragam, menurut Komaruddin, tidak ada konsep yang lebih tepat dari sistem demokrasi.
Di tengah sistem demokrasi, menurut dia, keberadaan partai politik adalah sebuah keniscayaan dan sangat vital.
Karena partai politik, ujar Komaruddin, merupakan institusi yang memiliki kewenangan untuk menjaring putra-putri terbaik bangsa.
Namun sangat disayangkan, tambah dia, cita-cita partai politik saat ini sangat rendah yang menjadikan biaya politk menjadi sangat mahal sehingga putra-putri terbaik tidak bisa masuk politik.
Diakui Komaruddin, bangsa ini belum berhasil membangun state, tetapi sudah masuk ke praktik liberal di segala bidang. Akibatnya, tegas dia, yang berkuasa saat ini adalah uang.
Kondisi tersebut, ujar dia, menyebabkan peran partai politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat luas tidak maksimal.
Di masa depan, Komaruddin berharap, kita harus membangun state dengan lebih baik. Karena state yang efektif sangat berguna untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa.
Aktivis Jaringan Gusdurian, Inayah Wulandari Wahid mengungkapkan proses mewujudkan sikap toleransi di negeri ini belum sepenuhnya dilakukan dengan baik.
Dalam satu survey, ujar Inayah, bahkan terungkap meski 70% responden percaya toleransi masih ada di Indonesia, tetapi ketika ada perbedaan di antara mereka disikapi dengan cara-cara yang tidak mencerminkan toleransi.
Diakui, Inayah, penerapan nilai-nilai toleransi masih sekadar ucapan. Seringkali, tambahnya, kita memakai toleransi sebagai kata ajaib untuk menjawab berbagai persoalan di negeri ini.
Kita sering kali menempatkan toleransi di sisi hulu. Padahal, tegas Inayah, toleransi adalah hasil dari rangkaian proses di masyarakat. Sikap dan nilai-nilai toleransi, tambah dia, harus tertanam di hati masing-masing masyarakat.
Inayah menilai sikap empati, kebaikan dan saling menghormati yang berupaya dibangun di negeri ini tidak sejalan beriringan dengan jargon kebhinekaan dan NKRI harga mati yang sering didengungkan.
Pada kesempatan itu Anggota Komisi III DPR RI, Eva Yuliana berpendapat bahwa nilai-nilai toleransi tidak bisa diharapkan tertanam dengan sendirinya pada masyarakat. Namun harus ada keterlibatan pemerintah dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang harmoni.
Eva menegaskan bahwa kepolisian yang merupakan bagian dari pemerintah harus tegak lurus pada aturan perundangan yang berlaku dalam menjaga dan menumbuhkan toleransi di negeri ini.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat toleransi tidak dapat terwujud dengan sendirinya. Kalau terjadi ketimpangan di masyarakat yang muncul malah intoleransi.
Menurut Saur, apa pun perbedaan yang ada saat ini mari dipandang sebagai anugerah. Perbedaan agama, suku dan bahasa itu adalah anugerah.
Yang bukan anugerah itu, tegas Saur, adalah disparitas di sektor sosial, ekonomi, pendidikan dan disparitas kekayaan.
Karena, Saur berpendapat, bahwa mewujudkan keadilan adalah kebutuhan yang pokok untuk memelihara atau menegakkan toleransi.
Pada kesempatan itu Saur menyatakan lebih tepat memakai kata menghormati dari pada toleransi. Karena, ujar dia, to tolerate mengandung makna menerima meski ada yang tidak disukai. Sedangkan kata menghormati bermakna menerima dengan segala ketulusan.
Ricky Marly