Bandar Lampung (Lampost.co)— Pakar hukum pidana Universitas Lampung (Unila), Eddy Rifai dijadwalkan akan membawakan orasi ilmiah pada pengukuhan dirinya sebagai guru besar dalam bidang ilmu Ilmu hukum pada Selasa, 13 Juni 2023.
Bertempat di Gedung Serba Guna (GSG) Unila, orasi ilmiah ini akan dihadiri langsung oleh rektor Unila, Lusmeila Afriani, para wakil rektor, anggota senat, serta para tamu undangan lainnya.
Adapun dalam pengukuhannya sebagai guru besar ini, Eddy Rifai akan membawakan orasi ilmiah berjudul “Membangun Rezim Anti Cyber Laundering di Indonesia: Inovasi Hukum di Era Digital”.
Dalam kajiannya ini, ia mengatakan bahwa, pada era teknologi dan informasi saat ini, perilaku pencucian uang semakin rumit dan sulit dilacak.
Menurutnya, para pelaku kerap memanfaatkan dunia maya seperti fasilitas e-banking dan instrumen keuangan lainnya untuk melakukan transaksi keuangan tanpa harus datang ke bank. Kemudahan yang disediakan oleh instrumen keuangan digital tersebut pada akhirnya akan berimplikasi terhadap modus operandi tindak pidana pencucian uang (TPPU) melalui media siber. Fenomena tersebut kerap kali disebut dengan istilah cyber laundering, jelas Eddy.
“Cyber laundering adalah suatu cara yang dilakukan untuk mencuci uang yang didapat dari hasil kejahatan dengan mempergunakan teknologi tinggi baik itu internet atau sistem pembayaran secara elektronik,” jelasnya.
Kelemahan Cyber
Eddy menjelaskan cyber laundering dalam era revolusi digital ini memiliki resiko yang sangat tinggi. sehingga kebijakan antipencucian uang harus berinovasi, karena dalam tataran norma hukum Indonesia, cyber laundering, belum diatur secara khusus dalam regulasi hukum pidana di Indonesia.
Cyber laudering menurutnya lebih sulit untuk dilacak. karena jejaknya yang hanya ada di dunia digital.
Tak hanya itu, uang yang diinvestasikan dari cyber laudering juga menurut Eddy cukup menyulitkan petugas untuk melakukan pelacakan. Hal ini dikarenakan modus yang dilakukan melalui rangkaian sistem elektronik dengan mengandalkan kemajuan teknologi yang pesat.
Oleh karena itu, pengaturan tindak pidana cyber laundering, menurut Eddy harus diikuti dengan kesiapan aparat penegak hukum. Baik menyangkut keahlian dalam mengoperasionalkan komputer, lika-liku keuangan dan perbankan, serta keahlian dalam melakukan penegakan hukum yang bersifat lintas teritorial.
“Dan tentu berkaitan dengan asas teritorial dengan cakupan yurisdiksi legislatif, yudikatif maupun eksekutif,” ujarnya.
Dalam penelitiannya ini, Eddy menjelaskan, Konstruksi rezim anticyber laundering di Indonesia harus mengoptimalkan kedudukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Yaitu dengan mengharmoniskan mekanisme pelaporan dan pengawasan, memperkuat kerjasama internasional, membangun digital identification system yang muktahir, serta pemberdayaan teknologi pada setiap instansi yang berkaitan dengan pencucian uang disertai dengan tenaga ahli yang kompeten.
“Selain itu dibuat aturan khusus terkait cyber laundering dengan tetap mengakomodasi dua rezim hukum yang terpisah yakni, UU TPPU sebagai lex specialis dan UU ITE sebagai pelengkap,” kata dia.
Sri Agustina